Pemecatan Pegawai KPK dan Warisan Sejarah di Era Jokowi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan 57 pegawai yang dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status menjadi ASN diberhentikan per 30 September mendatang.
Enam orang di antaranya, adalah mereka yang tidak mau mengikuti diklat bela negara untuk diangkat menjadi ASN. Terdapat sejumlah nama penyelidik dan penyidik dalam daftar nama tersebut.
Pemberhentian itu lebih cepat satu bulan dibandingkan yang termuat dalam SK Nomor 652 Tahun 2021. Dalam SK tersebut puluhan pegawai KPK akan diberhentikan pada 1 November 2021.
Puluhan pegawai KPK, termasuk Novel Baswedan tinggal menghitung hari angkat kaki dari markas lembaga antirasuah. Mereka seperti dibuang oleh pimpinan KPK Firli Bahuri Cs.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tak berbuat banyak terkait pemecatan puluhan pegawai KPK tersebut. Ia sempat menyatakan agar hasil TWK KPK tak menjadi dasar memberhentikan pegawai lembaga antikorupsi. Namun, kini Jokowi buang badan.
"Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan," kata Jokowi dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (15/9).
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengkritik pernyataan Jokowi yang meminta persoalan tidak ditarik kepadanya. Wawan menilai Jokowi telah melempar tanggung jawab.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyatakan KPK berada di ranah eksekutif.
"Sebagai kepala pemerintahan dan pimpinan tertinggi ASN ya beliau harus tanggung jawab. Karena UU KPK kan sudah menyatakan seluruh pegawai KPK bagian ASN. Jadi artinya proses alih status itu menjadi tanggung jawab dari pembina utama ASN ini, yakni presiden," kata Wawan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (17/9).
Wawan mengatakan Jokowi masih memiliki waktu untuk mengambil alih permasalahan ini. Menurutnya, jika sampai 30 September nanti Jokowi tidak mengambil sikap jelas, bisa disimpulkan langkah Pimpinan KPK memecat puluhan pegawai KPK sudah mendapat restu.
"Kita harus melihat kalau Pimpinan KPK sudah memutuskan dan presiden tidak mengambil sikap, ya berarti begitu lah sikap presiden kita, artinya presiden merestui pemberhentian pegawai itu. Kita tinggal menunggu sikap," katanya.
Lebih lanjut, Wawan juga menyoroti tindakan pimpinan KPK yang mempercepat pemberhentian pegawai menjadi 30 September. Padahal UU KPK, kata dia, menyatakan proses alih status dilakukan paling lambat dua tahun sejak UU berlaku.
"Undang-undang direvisi Oktober 2019, terus kenapa mereka ambil keputusan 30 September. Kenapa dipercepat?" ujarnya.
Dalam skala lebih besar, Wawan mengatakan pemecatan itu merupakan upaya pembusukan pemberantasan korupsi yang mendekati sangat sempurna.
"Undang-undang sudah direvisi, independensi sudah hilang karena di bawah eksekutif dan kewenangan berkurang karena penggeladahan dan penggeledahan harus izin Dewas, juga Dewas yang tebang pilih dengan putusannya dan yang terakhir menyingkirkan para pegawai yang berintegritas," katanya.
Sejumlah nama yang dipecat Firli Cs adalah penyidik dan penyelidik senior. Mereka antara lain Ambarita Damanik, Novel Baswedan, Budi Agung Nugroho, Ronald Paul Sinyal, Yudi Purnomo, Harun Al Rasyid, Herbert Nababam, dan beberapa nama lainnya.
'Janji Manis dan Kontradiksi Jokowi' bersambung ke halaman selanjutnya...
Janji Manis dan Kontradiksi Jokowi BACA HALAMAN BERIKUTNYA
0 Response to "Pemecatan Pegawai KPK dan Warisan Sejarah di Era Jokowi"
Post a Comment